Rabu, 11 Agustus 2010

FILSAFAT

“MANUSIA BEBAS KARENA ALLAH TIDAK ADA”
( Menurut, Jean-Paul Sartre )

1. Pandangan Jean-Paul Sartre (1905-1980)
Jean-Paul Sartre adalah seorang filsuf Perancis yang dikenal sebagai orang yang mempopulerkan eksistensialisme. Menurutnya, “Manusia bebas karena Allah tidak ada”. Ia menyangkal adanya suatu “hakikat” manusia yang ada mendahului pilihan individual. Individu menciptakan hakikat mereka sendiri melalui pilihan dan tindakan bebas mereka :“Eksistensi mendahului esensi”. Sartre menunjukkan bagaimana orang mencoba menyembunyikan dari dirinya sendiri kebebasan dan tanggungjawab.
Pandangan Sartre ini sepaham dengan para Ateis. Mereka tidak mempercayai adanya suatu “Pengada Tertinggi”, apapun bentuknya. Ateisme sering diiringi pendapat bahwa manusia kurang berarti. Pandangan Sartre dan Ateis ini disangkal oleh Jaspers dan para Teis bahwa “Manusia bebas karena Allah ada”.

2. Pandangan Karl Theodor Jaspers (1883-1969)
Karl Theodor Jaspers adalah seorang eksistensialis Jerman. Menurutnya, “Manusia bebas karena Allah ada”. Ia meyakini bahwa manusia secara ideal selalu mencari transendensi, “melampaui” diri mereka sendiri serta rutinitas keseharian yang monoton. Batas-batas tentang pesoalan transendensi-diri yang ia pahami sebagai kematian, penderitaan, perjuangan/cinta, dan rasa bersalah.
Pandangan Jaspers ini sepaham dengan para Teis. Mereka berpandangan bahwa hanya ada satu “Pengada Tertinggi” yang sempurna dan menciptakan dunia, yang berbeda, paling tidak sebagiannya, dari dunia yang Ia ciptakan, serta (seharusnya) menjadi sarana ibadat religius.

3. Paham Kebebasan
Dua makna paling penting dari titik pandang filosofis kiranya ini :
1. Suatu kondisi di mana tidak ada pembatasan, misalnya soal keuangan,kemampuan fisik, maupunstatussosial, berkenaan dengan sesuatu yang hendak dilakukan oleh seseorang.
2. Tidak seutuhnya ditentukan oleh factor-faktor yang mensyaratkan secara kausal, memiliki kemampuan,
jika keadaan tertentu diulang, untuk memilih sebuah cara tindakan baru yang berbeda meskipun dengan sebab-sebab yang mendahuluinya sama. Arti pertama biasanya diasosiasikan dengan determinisme lunak dan liberalisme, yang kedua dengan libertarianisme.
3.1. Determinisme Lunak dan Liberalisme
a. Determinisme Lunak, yaitu pandangan bahwa meskipun semua tindakan disebabkan, tidak semuanya terjadi secara terpaksa. Tindakan bebas(tidak terpaksa) adalah tindakan yang muncul dari keiinginan rasional pelaku.
b. Liberalisme, yaitu pandangan yang menekankan autoritas dan tanggungjawab pemerintah guna mengembangkan kesejahteraan rakyat.
3.2. Libertarianisme
Sebuah doktrin yang mengajarkan bahwa manusia dapat mengatasi persyaratan kausal untuk memilih di antara tindakan-tindakan alternative (lihat kebebasan). Serta harus dianggap menyatakan bahwa manusia harus diberikan kebebasan maksimal dari campur tangan orang lain/pemerintah dalam hidup mereka.

4. Mengkritisi pandangan Sartre bahwa “Manusia bebas karena Allah tidak ada”.
4.1.Menurut pemahaman pibadi yang handal sebagai seorang pengikut Kistus yang sejati.
Paham kebebasan yang telah dipaparkan sebelumnya dapat membuka dan membantu cakrawala pemikiran saya dalam mengkritisi pandangan Sartre, yang bagiku adalah sebuah “KEKELIRUAN”. Saya sangat setuju dengan pandangan Jaspers bahwa “manusia bebas karena Allah ada”, yang mana telah didukung dengan pandangan “Teisme”. Alasan-alasan dalam mengkritisi pandangan Sartre adalah sbb :

1. Manusia diciptakan secitra dengan Allah
Jika Allah menciptakan manusia tidak secitra dengan-Nya. Maka manusia berdiri sebagai “Pengada Tertinggi”, dan manusialah yang bertindak sewenang-wenang kepada sesamanya. Namun pada dasarnya manusia diciptakan secitra dengan Allah, maka pantaslah bagiku untuk mengatakan bahwa “manusia bebas karena Allah ada”. Bagiku Ia tidak tampak dalam penglihatan manusia tetapi sungguh nyata dan benar-benar hadir dalam seluruh proses kehidupan manusia, dari sejak dibentuknya dalam rahim seorang ibu oleh Allah sendiri, lalu lahir dari rahim itu, dan kemudian pula dapat kembali kepada rahim kegelapan kekal yang tak akan kembali dan keluar dalam penglihatan sesamanya yaitu KEMATIAN. Manusia hanya mengerti bahwa kematianlah menjadi proses/batas akhir dari kehidupan manusia di dunia. Contohnya, orang mati tidak muncul ke dunia secara nyata bagi sesamanya, untuk memberikan solusi terbaik dalam menghindari kematiannya. Namun lewat kematian seseorang, ia mampu memahami makna kehidupannya dan mengantisipasi adanya kematian yang mencekam dirinya.
Oleh sebab itu, manusia sungguh mengakui Allah sebagai “Pengada Tertinggi” yang menciptakan langit dan bumi serta isinya termasuk manusia sendiri. Dimana manusia diberiNya tanggungjawab untuk memelihara/menjaga dan mempergunakannya. Point “tanggungjawab” yang diberikan Allah kepada manusia merujuk pada “KEBEBASAN” yang diberikan pula kepada manusia. Sehingga dengan bebas dan bertanggungjawab manusia mempergunakan segala sesuatu yang ada di dunia ini. Lewat kebebasannya ia dapat menciptakan sesuatu yang berdaya guna bagi diri dan sesamanya. Manusia bertindak bebas karena Allah yang memberinya “KEBEBASAN SEJATI”.

2. Kebebasan manusia yang bermoral
Ketika manusia berbuat salah terhadap sesamanya, maka ia selalu dituntut untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan orang lain. Maka sesungguhnya, manusia bebas dalam berbuat sesuatu dan bebas pula di dalam mempertanggunjawabkan seluruh tindakan hidupnya, yang diklaim sesamanya sebagai sebuah perbuatann yang salah dan melanggar moralitas kemanusiaan yang sesungguhnya, yaitu berbuat baik terhadap sesamanya dan bertanggungjawab atas tindakannya. Kebebasan itu bukan secara terpaksa harus dipertanggunngjawabkannya, tetapi merupakan hakikat dasariah yang mau tidak mau harus dilewatinya. Entah kebebasan dalam arti positif maupun negatif. Contohnya, jika manusia berbuat baik, maka pertanyaan yang akan muncul dari sesamanya terhadap dirinya adalah “mengapa engkau berbuat baik?”, dan sebaliknya jika manusia berbuat salah maka tentu ditanyai oleh sesamanya “mengapa engkau beruat salah?”. Intinya, segala sesuatu entah baik/buruk adalah bagian dari kebebasan manusia, yang ujung-ujungnya akan dimintakan pertanggungjawaban oleh sesamanya di hadapan orang lain.
Hal ini sebagaimana tercantum dalam kitab Kejadian tentang manusia pertama yang atas rayuan iblis (dalam rupa ular) melawan kehendak Allah untuk mencicipi buah pengetahuan yang ada di tengah- tengah taman itu. Apa yang terjadi, mereka dihukum oleh Allah karena melawan kehendak-Nya. Perbuatan mereka menghancurkan nasib mereka sendiri. Padahal Allah memberikan kebebasan kepada mereka akan segala sesuatu yang ada di dalam taman itu, terkecuali buah pengetahuan yang ada di tengah-tengah taman itu.
Adapun pernyataan Thomas Aquinas bahwa “apabila manusia benar-benar mengetahui Allah, maka sesungguhnya Allah tidak ada”. Yang dapat dimengerti oleh saya adalah Allah hanya dapat dipahami dalam bentuk apa saja, tetapi tidak bisa mengetahui siapa itu Allah dalam pribadi dan hakekatNya. Maka seperti Adam dan Hawa yang dibujuk ular untuk makan buah pengetahuan itu, Allah langsung menegur mereka. Itu adalah bagian dari pribadi dan hakikat Allah yang terselubung, namun nyata dalam tindakan manusia. Tugas manusia adalah mengakui bahwa di dunia ini, hanya ada satu “Pengada Tertinggi” di atas segala-galanya yaitu Allah Yang Mahakuasa dan Mahaesa. Maka sesungguhnya, manusia bebas karena Allah ada. Manusia tidak bisa terlepas dari ikatan Allah sebagai yang Ilahi dan jauh lebih tinggi dari segala-galanya. Kebebasan manusia diberikan oleh Allah dan dikembalikan kepadaNya oleh manusia, ketika manusia mengalami kematian di dunia.

Fr. John Lartutul